Semangat Bisnis Dalam Islam Oleh: Achmad Jainuri
Ada beberapa hal yang perlu ditegaskan dalam persoalan hubungan antara Islam dan aktifitas bisnis, pertama, secara normatif Islam memberikan sumber dasar nilai ajaran yang jelas seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an maupun al-Sunnah. Kedua, pengalaman sejarah menunjukkan bahwa Islam lahir di tengah-tengah masyarakat dagang Mekah abad ke-tujuh masehi.
Nilai-nilai dasar normatif dan historis telah membentuk prilaku bisnis setiap individu Muslim, yang dalam sejarah klasik Islam kelompok ini merupakan komunitas yang berpengaruh dalam kehidupan kekaisaran Islam. Banyak dari kalangan mereka ini menjadi mediator yang menghubungkan antara penguasa dengan masyarakat, dan yang kemudian menduduki jabatan penting dalam pemerintahan. Tradisi Islam dalam perdagangan bertahan hingga era modern Islam. Kaum pedagang Muslim memiliki peran yang sangat penting dalam penyebaran Islam ke luar jazirah Arabia dan yang di beberapa kawasan, terutama Asia Tenggara, menjadi agen perubahan ketika modernisasi merambah dunia Muslim.
Landasan normatif. Hubungan antara Islam dan bisnis memiliki landasan kuat dalam sumber nilai ajaran Islam. Hal ini tersebut dalam Al-Qur’an surat Al-Jum’ah (62:9-11), Al-Baqarah (2:198), An-Nisa’ (4:29), Al-Mutaffifin (83:9-11), dan Hadis: Orang Mukmin yang kuat (secara ekonomi) itu lebih baik dan disukai oleh Allah dari orang Mukmin yang lemah (ekonomi).
Pengalaman Historis. Islam lahir di tengah-tengah masyarakat bisnis Mekah abad ke-7 (watt, 1956, 1962 dan Crone, 1987). Hampir semua penulis setuju, meskipun berbeda pendapat tentang status peningkatannya, lokal atau internasional, bahwa masyarakat di mana Islam lahir, yakni masyarakat Mekah, adalah masyarakat pedagang. Warga Mekah, yang keturunan Quraysh, mengembangkan modal mereka. Ketika hubungan perdagangan dengan negara sekitar terjadi, yang menjadikan Mekah sebagai kota transit perdagangan yang memperoleh keuntungan besar, dalam beberapa hal kaum Muslim setuju menerima sistem pembayaran yang telah berlaku di negara-negara tersebut.
Nabi dan para sahabat adalah para pedagang ulet. Bani Hashim, asal keluarga Nabi Muhammad, selain menempati posisi sebagai penjaga tempat suci Mekah juga merupakan keluarga dagang yang memiliki jaringan perdagangan, terutama, di daerah Syam (Syria). Untuk mengamankan alur perdagangan, keluarga Hashim melakukan perjanjian pengamanan dengan para suku Badui sepanjang rute perdagangan dengan imbalan bagi keuntungan. Tradisi dagang masyarakat Mekah yang turun temurun menyebabkan bahwa kelompok awal yang masuk Islam tidak hanya dari kalangan kelas sosial rendah, seperti Bilal, tetapi juga kalangan menengah seperti Abdurrahman bin Auf, Usman bin Affan, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Khadijah, dan lainnya.
Tradisi bisnis juga terlihat dalam komunitas sufi. Sebagian orang mengasumsikan bahwa kaum sufi sebagai komunitas yang jauh dari kehidupan keduniawian dan yang secara sosial digambarkan sebagai orang yang tidak memiliki harta benda. Tetapi kenyataannya, banyak data menyebutkan bahwa mereka ini adalah para pelaku bisnis yang ulet. Pada abad ke-13 dan seterusnya mereka membawa Islam ke luar Jazirah Arabia. Jika sebagian sumber sejarah menyimpulkan bahwa masuknya Islam ke Nusantara adalah melalui jasa Saudagar Gujarat, maka sesungguhnya mereka ini adalah kaum sufi. Yang membedakan dengan kaum pedagang pada umumnya adalah terletak pada sikap mereka terhadap harta benda yang dimilikinya. Kaum sufi memandang harta sebagai milik Allah dan karena itu penggunaannya adalah untuk menegakkan kalimatullah. Mereka memiliki uang, tetapi tidak untuk hal-hal yang konsumtif, apalagi bermewah. Kecenderungan inilah yang membedakan dengan kelompok pedagang lainnya. Jadi, baik normatif maupun pengalaman histories menunjukkan bahwa ada hubungan antara Islam dan perdagangan. Karena itu Geertz menegaskan, dalam teori ”mesjid-pasar,” ada hubungan fungsional antara mesjid sebagai simbol Islam dan pasar sebagai simbol aktifitas ekonomi.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana nilai-nilai Islam bisa mewarnai prilaku bisnis setiap individu Muslim. Jika setiap pelaku bisnis mendasarkan pada etika Islam, maka keuntungan yang diperoleh dari setiap transaksi bisnis tidak hanya baik dan bermanfaat secara materi bagi diri pelaku bisnis tetapi juga baik dan diridhai oleh Allah, yang pada akhirnya harta yang diperoleh dari usaha ini membawa barokah bagi diri dan keluarga yang dihidupinya. Oleh karena itu ada prinsip-prinsip yang perlu ditanamkan: Pertama, perlunya ditumbuhkan kesadaran bahwa bisnis selalu berkaitan dengan aktifitas dan aspek lain dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu bisnis bukan sekedar transfer barang atau jasa dari satu orang ke orang lain, tetapi juga berkaitan dengan pelepasan hak kepemilikan, dengan apa, kapan, bagaimana, dan mengapa hak milik itu dilepaskan. Aktifitas ini pada akhirnya menuntut adanya aturan dan norma sebagai pedoman yang mengikat untuk dilaksanakan. Kedua, bisnis merupakan salah satu cara memiliki karunia Allah dan cara mendistribusikan karunia-Nya kepada hamba-Nya. Ketiga, prinsip-prinsip niilai ilahiyah seperti keadilan, kebenaran, kejujuran, kejelasan, kemanan, kesabaran, dan keikhlasan menjadi penting dalam bertransaksi dan akibat yang ditimbulkan setelah transaksi dilakukan. Sumber: Suara Muhammadiyah No.08/Th. Ke-92
Baca lebih lengkap, lebih seru dan lebih istimewa tentang Bisnis luar biasa dalam buku ”Indahnya Berbisnis dengan Tuhan”, seri satu (Life Management Series 1) karya Ust. Ayi Muzayini E.K, dengan pengantar DR. Hidayat Nur Wahid,MA. Penerbit Fatihah Publishing, Buku ini akan menemani Anda menuju apa yang Anda inginkan. Diangkat dari kisah nyata yang sangat istimewa dan penuh haru. Terdiri dari 10 bagian kisah yang unik dan penuh inspiratif. Tebal 296 halaman dengan harga konsumen Rp.58.000 (sudah termasuk ongkos kirim). Harga distributor Rp.30.000,- (minimal pengambilan 60 buku). Segera pesan, persediaan terbatas.
Pemesanan, masukan dan tanggapan dapat dikirim ke Jl.Pesantren No 55A 03/05 Kreo Selatan Larangan Tangerang 15156. HP 0813.8244.2222 Telp. (021)-68.99.23.24 – 7388.41.52 Fax (021)-585.45.01 Email : ayi.okey@gmail.com www.ayi-ibet.blogspot.com
Ada beberapa hal yang perlu ditegaskan dalam persoalan hubungan antara Islam dan aktifitas bisnis, pertama, secara normatif Islam memberikan sumber dasar nilai ajaran yang jelas seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an maupun al-Sunnah. Kedua, pengalaman sejarah menunjukkan bahwa Islam lahir di tengah-tengah masyarakat dagang Mekah abad ke-tujuh masehi.
Nilai-nilai dasar normatif dan historis telah membentuk prilaku bisnis setiap individu Muslim, yang dalam sejarah klasik Islam kelompok ini merupakan komunitas yang berpengaruh dalam kehidupan kekaisaran Islam. Banyak dari kalangan mereka ini menjadi mediator yang menghubungkan antara penguasa dengan masyarakat, dan yang kemudian menduduki jabatan penting dalam pemerintahan. Tradisi Islam dalam perdagangan bertahan hingga era modern Islam. Kaum pedagang Muslim memiliki peran yang sangat penting dalam penyebaran Islam ke luar jazirah Arabia dan yang di beberapa kawasan, terutama Asia Tenggara, menjadi agen perubahan ketika modernisasi merambah dunia Muslim.
Landasan normatif. Hubungan antara Islam dan bisnis memiliki landasan kuat dalam sumber nilai ajaran Islam. Hal ini tersebut dalam Al-Qur’an surat Al-Jum’ah (62:9-11), Al-Baqarah (2:198), An-Nisa’ (4:29), Al-Mutaffifin (83:9-11), dan Hadis: Orang Mukmin yang kuat (secara ekonomi) itu lebih baik dan disukai oleh Allah dari orang Mukmin yang lemah (ekonomi).
Pengalaman Historis. Islam lahir di tengah-tengah masyarakat bisnis Mekah abad ke-7 (watt, 1956, 1962 dan Crone, 1987). Hampir semua penulis setuju, meskipun berbeda pendapat tentang status peningkatannya, lokal atau internasional, bahwa masyarakat di mana Islam lahir, yakni masyarakat Mekah, adalah masyarakat pedagang. Warga Mekah, yang keturunan Quraysh, mengembangkan modal mereka. Ketika hubungan perdagangan dengan negara sekitar terjadi, yang menjadikan Mekah sebagai kota transit perdagangan yang memperoleh keuntungan besar, dalam beberapa hal kaum Muslim setuju menerima sistem pembayaran yang telah berlaku di negara-negara tersebut.
Nabi dan para sahabat adalah para pedagang ulet. Bani Hashim, asal keluarga Nabi Muhammad, selain menempati posisi sebagai penjaga tempat suci Mekah juga merupakan keluarga dagang yang memiliki jaringan perdagangan, terutama, di daerah Syam (Syria). Untuk mengamankan alur perdagangan, keluarga Hashim melakukan perjanjian pengamanan dengan para suku Badui sepanjang rute perdagangan dengan imbalan bagi keuntungan. Tradisi dagang masyarakat Mekah yang turun temurun menyebabkan bahwa kelompok awal yang masuk Islam tidak hanya dari kalangan kelas sosial rendah, seperti Bilal, tetapi juga kalangan menengah seperti Abdurrahman bin Auf, Usman bin Affan, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Khadijah, dan lainnya.
Tradisi bisnis juga terlihat dalam komunitas sufi. Sebagian orang mengasumsikan bahwa kaum sufi sebagai komunitas yang jauh dari kehidupan keduniawian dan yang secara sosial digambarkan sebagai orang yang tidak memiliki harta benda. Tetapi kenyataannya, banyak data menyebutkan bahwa mereka ini adalah para pelaku bisnis yang ulet. Pada abad ke-13 dan seterusnya mereka membawa Islam ke luar Jazirah Arabia. Jika sebagian sumber sejarah menyimpulkan bahwa masuknya Islam ke Nusantara adalah melalui jasa Saudagar Gujarat, maka sesungguhnya mereka ini adalah kaum sufi. Yang membedakan dengan kaum pedagang pada umumnya adalah terletak pada sikap mereka terhadap harta benda yang dimilikinya. Kaum sufi memandang harta sebagai milik Allah dan karena itu penggunaannya adalah untuk menegakkan kalimatullah. Mereka memiliki uang, tetapi tidak untuk hal-hal yang konsumtif, apalagi bermewah. Kecenderungan inilah yang membedakan dengan kelompok pedagang lainnya. Jadi, baik normatif maupun pengalaman histories menunjukkan bahwa ada hubungan antara Islam dan perdagangan. Karena itu Geertz menegaskan, dalam teori ”mesjid-pasar,” ada hubungan fungsional antara mesjid sebagai simbol Islam dan pasar sebagai simbol aktifitas ekonomi.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana nilai-nilai Islam bisa mewarnai prilaku bisnis setiap individu Muslim. Jika setiap pelaku bisnis mendasarkan pada etika Islam, maka keuntungan yang diperoleh dari setiap transaksi bisnis tidak hanya baik dan bermanfaat secara materi bagi diri pelaku bisnis tetapi juga baik dan diridhai oleh Allah, yang pada akhirnya harta yang diperoleh dari usaha ini membawa barokah bagi diri dan keluarga yang dihidupinya. Oleh karena itu ada prinsip-prinsip yang perlu ditanamkan: Pertama, perlunya ditumbuhkan kesadaran bahwa bisnis selalu berkaitan dengan aktifitas dan aspek lain dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu bisnis bukan sekedar transfer barang atau jasa dari satu orang ke orang lain, tetapi juga berkaitan dengan pelepasan hak kepemilikan, dengan apa, kapan, bagaimana, dan mengapa hak milik itu dilepaskan. Aktifitas ini pada akhirnya menuntut adanya aturan dan norma sebagai pedoman yang mengikat untuk dilaksanakan. Kedua, bisnis merupakan salah satu cara memiliki karunia Allah dan cara mendistribusikan karunia-Nya kepada hamba-Nya. Ketiga, prinsip-prinsip niilai ilahiyah seperti keadilan, kebenaran, kejujuran, kejelasan, kemanan, kesabaran, dan keikhlasan menjadi penting dalam bertransaksi dan akibat yang ditimbulkan setelah transaksi dilakukan. Sumber: Suara Muhammadiyah No.08/Th. Ke-92
Baca lebih lengkap, lebih seru dan lebih istimewa tentang Bisnis luar biasa dalam buku ”Indahnya Berbisnis dengan Tuhan”, seri satu (Life Management Series 1) karya Ust. Ayi Muzayini E.K, dengan pengantar DR. Hidayat Nur Wahid,MA. Penerbit Fatihah Publishing, Buku ini akan menemani Anda menuju apa yang Anda inginkan. Diangkat dari kisah nyata yang sangat istimewa dan penuh haru. Terdiri dari 10 bagian kisah yang unik dan penuh inspiratif. Tebal 296 halaman dengan harga konsumen Rp.58.000 (sudah termasuk ongkos kirim). Harga distributor Rp.30.000,- (minimal pengambilan 60 buku). Segera pesan, persediaan terbatas.
Pemesanan, masukan dan tanggapan dapat dikirim ke Jl.Pesantren No 55A 03/05 Kreo Selatan Larangan Tangerang 15156. HP 0813.8244.2222 Telp. (021)-68.99.23.24 – 7388.41.52 Fax (021)-585.45.01 Email : ayi.okey@gmail.com www.ayi-ibet.blogspot.com
Posting Komentar
Posting Komentar